puisi 

Puisi-puisi Alvin Shul Vatrick

Alvin Shul Vatrick, adalah nama tambahan, sementara nama Shul Vatrick adalah nama yang diberikan oleh orang tua sejak ia dilahirkan pada 18 Oktober 1977 di Luwu. Sangat menyenangi sastra terlebih puisi. Kini tinggal di Larompong, Kabupaten Luwu, Sulawesi Selatan. Bersama beberapa rekan penyair dalam waktu dekat berencana menerbitkan antologi puisi berjudul ARKAIS (Antologi Puisi Penyair Tiga Pulau).

 

Menjadi Karang

 

Dengan apa kumetaforakan senyum yang engkau kirim bersama layung teja seusai mendung berjelaga sore tadi

Sementara senja kian lihai menyulam bait-bait hujan yang tertunda, mungkin malam menolak basah di pelupuknya

 

Kemarin engkau pergi sebagai perindu yang akan pulang dengan cinta, tapi mengapa prasangka masih bergelantungan di ujung lidah?

Bukankah sudah kubilang, “Jangan hirau akan telingamu, dengarlah napasku pada helaan terakhir sebelum engkau membelakangi malam itu! Sebelum mimpi-mimpi menemukan ajalnya di mataku.”

 

Jika mesti berkaca pada keruh air mata, mengapa harus percaya kepada beningnya dusta?

Kita jangan bersinonim dengan kupu-kupu bersayap indah tetapi rapuh!

Mari menjadi karang di hadapan badai hingga jerit terakhir tenggelam di putihnya pasir yang tertidur.

Sungguh sejatinya rindu memang sembilu!

 

Luwu 2017

 

 

Di Ujung Mata Sembilu

 

Sepuluh gendewa melesatkan seribu panah menuju dada nan telanjang ini tidak akan membuatku menyerah kepada nasib

Tak lagi kumampu menghitung luka membilang pilu karena rindu yang telah menyisakan sayat dalam hayat, haruskah pahit kukatakan manis hanya untuk mengelak dari kenyataan?

 

Maka biarlah engkau menjadi hujan yang datang sesaat lalu hilang terlupa musim, sementara engkau tahu napasku di ujung mata sembilu ketika tiadamu

Lalu, di mana senyum kaualamatkan?

 

Apakah kita hanya selembar mimpi yang lunglai di dua sisi setelah rasa kasih berselisih dengan cemburu?

Padahal kaulumat habis selaksa kulum senyumku sebelum kejora menggelanting di bulu mata!

Itukah yang kausebut cinta nan agung?

 

Luwu 2017

 

 

Menerjemahkan Senja

 

Langit menegur doaku hingga mengabu di bibir karang saat kucoba menerjemahkan senja yang terselubung awan di matamu

Lunglai ingatan serupa mantra yang rintih mengelus harapan bertaruh ajal pada serat-serat kuning lembayung terlupa saga

Engkaukah senja itu?

 

Seperempat cahaya sebelum aku terasing dalam kesumat yang menganyam helai air mata berlembar-lembar terseret angin tak ramah

Telah kubunuh segantung purnama, semata engkau tak dendam kepada kejora yang melaut di dadaku

Sepisau rindu merajam sunyi, itukah engkau?

 

Lihatlah biru yang kian lebam melengkung di atas garis lurus tempat jingga berjabat dengan merah yang sebentar lagi hitam

Tidakkah kaudengar nyanyian laut dengan lidah menggelepar lalu terkubur di celah pasir yang tak bosan menunggunya?

 

Biarkan senja kali ini mendekap seluruh senja yang pernah ada, pahamilah bahwa engkau bukan senjaku yang sesaat!

 

Luwu 2017

 

 

 

 

 

 

 

Related posts

Leave a Comment

17 − 12 =